Aku sedang ingin menulis. Aku ingin menulis tentang
kehidupan pribadiku. Entah apa yang akan kalian rasakan setelah membaca kisahku
ini. Tapi aku berharap...kalian iri padaku ya...hahahaha...#stres
“Tahun pun turun membuka sayapnya,
ke luas jauh benua-benua
Laut membias : warna biru langit tua
Zaman menderas : manusia tetap setia.”
Pernahkah kau lihat bagaimana mentari berbicara tentang
lelah pada sinarnya? Pernahkah kau lihat, bagaimana deburan ombak meneriakkan
keluh..menghembuskan kesah pada tiap-tiap tepian pantai yang pernah ia jumpa?
Atau,,,pernahkah kau dengar bisikan perlahan dari gumpalan awan hitam, untuk
rinai hujan yang selalu membuatnya tertahan? Aku tersentak dalam
diam...bergeming..dan mengaitkan jemari pada kekalutan panjang.
Mars : Kenapa kau meminangku, mau menikahiku, dan
menjadikanku sebagai bagian dari hidupmu??
Venus : Sebab tanpamu, takkan pernah ada pernikahan
bagiku...
.......(hening)........
Bangku panjang yang kududuki terasa begitu dingin. Desiran
angin membuatku mengatupkan rahang lebih erat. Kucoba memberikan aliran hangat
pada ujung jemari yang terasa membeku, juga sebuah energi baru pada
dinding-dinding syal yang mulai rapuh dan mengembun demi menahan serpihan
gunung es yang berdiri tegak tak jauh dari tempatku termangu. Perlu sejuta
ketegaran untuk membuatku tetap bertahan dan berpijak pada ruang yang tak
terhempas.
Mataku beralih pada sebuah sudut temaram, di mana siluet dua
sosok usia senja tampak berpadu pada waktu yang telah berpaling dan membiarkan
mereka kusam dalam putaran zaman. Seolah tak peduli pada gilasan masa, mereka
saling melindungi dari dingin dan berbagi kehangatan. Entah sudah berapa
generasi telah mereka lewati dengan mengabaikan kesedihan dan menyuarakan tawa
berdua saja. Aku beringsut dari tempatku beradu dengan nurani. Menjauh
perlahan. Namun aku tahu pasti, bahwa harapanku masih tergantung di sana.
Seperti seseorang di titian masa yang tengah kehilangan
arah, aku kembali menelusuri jalan itu dengan perasaan tak menentu. Jalan ‘mengejar
matahari’, begitu katamu dulu. Dengan sebuah kertas yang kau lambaikan perlahan
di hadapanku, kau mencoba menguraikan tentang arti kesetiaan dengan senyum yang
tak kunjung hilang dari wajahmu. Katamu, persahabatan adalah sebuah ikatan
untuk kesetiaan cinta yang tak mungkin usai. Benarkah? Ahh...aku sampai lelah
berpikir...mengapa dulu aku begitu mempercaimu, bahkan hingga sekarang...aku
tak berhenti untuk terus mengagumimu.
Masih kuingat bagaimana senja itu kau berlari menghampiriku
di bawah sengatan mentari yang mulai redup menyilaukan. Hanya demi sebuah pena
dan sebuah kertas lusuh yang ingin kau tunjukkan, peluh harus membanjiri kemeja
kebanggaanmu dan nafas tersengal kepayahan akibat berlari membuatku tertegun
dalam diam.
“Untuk apa?” Kataku acuh meski mataku hampir meloncat ingin
tahu.
“Untuk menuliskan semua mimpi-mimpimu.” Katamu dengan mata
berbinar-binar (satu hal yang selalu aku suka darimu sejak dulu).
“Hanya itu?” Ucapku tak percaya.
“Aku bahkan mempunyai
puluhan buku berisi cita dan mimpiku.” Sahutku enggan.
“Ayolah...tuliskan saja 5 mimpimu tentangku, tentangmu, dan
tentang kita.” Enggan...kuayunkan penaku di atas kertas lusuh menyebalkan senja
itu.
“Sudah?”
“Ya...”
“Sekarang lihat aku.”Perlahan tapi pasti...ia menghapus seluruh
tulisanku senja itu. Menjadikan kertas lusuh itu makin lusuh, dengan bekas
goretan pena di sana-sini. Aku kesal. Tapi kau bilang,
“Begitulah kehidupan, Tuhan telah memberikanmu pena untuk
menulis semua kisah, cita, juga kesetiaan yang kita inginkan. Tapi kau
tau...Tuhan juga telah menyimpan penghapus untuk setiap goresan penamu.”
Huufftt...percakapan itu sudah lama sekali ya, kawan. Aku
bahkan mulai lupa bagaimana binar-binar itu kemudian menjadi sebuah kejora yang
membuatku makin mengagumimu. Tanpa kusadari, perlahan senyumku mengembang pada
tiap kenangan dan jejak yang pernah menjadi hari tak terlupakan bagi seorang
gadis sepertiku.
Pluk! Sebuah jaket hangat berwarna violet tiba-tiba
menghampiri tubuhku yang mulai gemetar kedinginan oleh fajar yang menggigit.
“Masuklah sayang..sepertinya salju akan segera turun di kota
ini.” Ucapmu sambil tersenyum hangat. Ahh..sebuah senyuman yang pernah kutunggu
selama hampir 3 tahun itu kini menjelma nyata di hadapanku.
“Apakah kau tengah menyesali karena telah menjaga kesetiaan
sebuah bintang untuk turunnya hujan?”
Aku hanya terdiam dan berkata dalam hati, “Kau
tau...semenjak mengenalmu..aku bahkan mulai lupa, bahwa pada hakikatnya hujan
dan bintang saling meniadai.”
Lalu kami pun beranjak perlahan meninggalkan jejak-jejak
yang tak terkikis pada sebuah fajar yang masih temaram.
Sebuah apartemen, dengan hamparan tulip dan salju...
Amsterdam, 14 September 2012
Bagaimana? Kalian sudah iri belum...dengan keromantisan saya
dan belahan jiwa saya di ujung sana? #siapa coba??
Halah...hahahaha...mengkhayal banget deehh...
Hohohooo....maaf...cerita yang baru saja anda baca ini
hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesalahan dalam penulisan, mohon
dimaafkan...karena penulis belum pernah menginjakkan kakinya di kota bersalju,
namun berharap akan mampu mewujudkannya. Amin.. Oiya, kisah ini saya
persembahkan spesial untuk sahabat-sahabat saya di dunia maya ; Phipi, Putri,
dan Zii...semoga penantian kalian segera berakhir ya....hahahaha.... Karena
akan selalu ada simpul yang indah untuk setiap kesabaran dalam sebuah
keimanan.... Juga untuk mimpi-mimpi saya yang tak lagi sabar menyentuh butiran
salju dan menyimpan keceriaan warna tulip dalam kornea mata saya...(˘ʃƪ˘)