Kau tahu jiwa tentang yang bernyanyi? Ia selalu bermesraan
di sepertiga malam. Ia terkadang berbisik. Terkadang merintih. Terkadang
merangkai kata. Hanya untuk memenuhi hasrat cintanya. Pada apa yang digariskan Tuhannya.
Kau tahu tentang jiwa yang menari? Ia selalu terdiam pada
siang yang terik. Mengusap peluh perlahan, dan berjanji untuk mimpi yang
terbaik. Hanya untuk menyeka air mata saudaranya yang tercabik, atau sekedar
memenuhi hasrat rindunya. Pada apa yang diisyaratkan Tuhannya.
#Menulis tentang Dinda...
Gadis manis
dengan dua lesung pipit bersemi di pipi kanan dan kirinya. Tubuhnya kurus,
matanya bersinar jeli, dan suaranya melengking tinggi di antara kawan-kawanya.
Seolah tak pernah ada kesedihan yang tersirat di wajah mentarinya. Gadis yang
ramah di mataku. Selalu ada sapaan hangat yang keluar dari mulutnya di saat
kita bertemu. Masih kuingat, bagaimana wajahnya berbinar penuh harapan ketika
dengan malu-malu ia meminta ijin untuk mengikuti kelasku. Masih teraba dengan
jelas, bagaimana usahanya untuk membuatku tampak senang karena ia senantiasa
mengikuti instruksiku dengan baik. Pun masih terekam dalam ingatan, betapa aku
tampak sangat terkejut melihat kehadirannya diacuhkan oleh kawan sepermainannya.
Malam itu ia
menangis sesenggukan di hadapanku. Jilbab putihnya basah oleh air mata yang
tampak begitu memerihkan. Tubuh mungilnya terguncang hebat. Wajahnya tampak
acak-acakan dengan anak rambut yang berlarian keluar dari balik kerudungnya.
Ahh..andai kau tau, Dinda. Aku sungguh tak pernah ingin mendengar tangis itu di
balik keceriaanmu. Andai mampu kuputar waktu sesuai mauku, tentu takkan pernah
kubiarkan kau menangis sendirian di atas kasurmu karena nilaimu yang merosot
tajam di sekolah. Andai aku mampu menggandakan diriku satu setengah tahun yang
lalu, dan berada di sini sebagai konselingmu....tentu takkan pernah kubiarkan
mereka menyakitimu, menuduhmu, dan melukaimu sedalam itu. Bahkan andai sekarang
aku menjadi jenius dan mampu menciptakan ruang waktu, tentu akan kuhapuskan
memori tentang sayatan yang kini telah berkarat di hatimu.
“Aku memang udah ga punya orang tua, Ustadzah. Tapi aku
masih ingat, ketika aku kecil...Ibu selalu mengajarkanku kejujuran dalam segala
hal. Jadi ga mungkin aku yang mencuri uang teman-teman.” Katamu payah, dalam
sesenggukan yang tak kunjung reda.
“Dinda, coba dengar saya. Kamu bisa menjadi apapun yang kamu
inginkan. Selama mentari masih bersinar, dan bumi masih berputar..tentu akan
ada harapan bagi setiap perubahan. Ketika kamu merasa seluruh dunia menentangmu
dan memandangmu sebelah mata, maka buktikan..bahwa kau layak dipandang dengan
kedua belah mata mereka.” Kataku perlahan, kalut.
“Lalu siapa yang akan mempercayaiku? Ketika semua orang telah
memikirkan hal yang sama dan menghakimiku dengan pikiran mereka masing-masing?”
Keraguan terucap jelas dari mulutmu.
“Saya. Jika di antara sekian ratus kawanmu, hanya saya yang
akan mempercayaimu dengan hati dan bukan karena saya konselingmu..maka apakah kamu
akan mengecewakan saya kelak?”
Hening...dan isak tangis itu perlahan menghilang.
Kepercayaan adalah sesuatu yang dilahirkan, dan bukan dibuat berdasarkan
kebutuhan.
#Melukis tentang Atra...
Pandangan
matanya lurus menatap langit-langit kelas, dinding-dinding ruang, dan
sudut-sudut kertas yang berserakan. Ada sebuah kepolosan di sana. Aku tak
pernah benar-benar mengerti. Ada sepercik harapan di sana. Pun aku masih tak
mengerti. Digumamkannya huruf-huruf yang bertebaran pada lembaran buku di
hadapannya. Sama sepertinya yang tampak bimbang, aku pun tengah kalut dan
bertahan dengan kecamuk pikiranku. Huruf itu makin tak beraturan dibuatnya.
Terlipat-lipat. Terbolak-balik. Tercabik-cabik. Dan akhirnya terbaca dengan
liar.
Diseleksia. Retardasi mental. Adakah kata
lain yang lebih nyaman untuk membahasakan kisah ini bagi seorang Atra? Tentang
Atra dan dunianya. Mungkin aku hanyalah bagian terkecil dari kebahagiaannya.
Bahkan mungkin ia sangat membenci huruf-huruf yang kerap kali kusodorkan,
begitu pula dengan kehadiranku pada tiap imaginya. Setidaknya itulah yang
selalu kupikirkan tiap kali bertatapan dengan bening telaga di wajahnya. Hingga
suatu hari, sebuah pelukan hangat mencoba membahasakan kerinduan. Tubuh
mungilnya hinggap dan menguatkanku. Membuatku kembali yakin, bahwa aku akan
mampu merubahnya menjadi "seseorang" di masa yang akan datang
dengan segala keunikan yang ia punya.
#Merangkai tentang kita
Cukup. Aku
sedang tidak ingin membicarakan tentang siapapun dan apapun. Aku hanya ingin
kembali menulis. Itu saja. Ketika hujan ini datang, aku hanya ingin
menghadirkan distorsi yang mmbentuk bahasa manis dalam aksara kata. Mulanya aku
mencoba menulis tentangmu. Menjadikanmu sebagai poros ide pada setiap bait yang
kurangkai. Namun rumit. Sulit. Menghimpit. Meski pada kenyataannya kau pernah
mengijinkanku menulis untukmu, tapi tetap saja aku tak mampu. Mungkin itulah
sekian dari ketidak sempurnanaanku dalam dimensi kita. Terkadang, itu pula yang
membuatku ingin berkata pada Tuhan untuk menghapus sedikit saja jarak yang
tergores. Atau setidaknya, memberiku kekuatan penuh untuk tetap berlari pada
masa depan yang sama denganmu. Karena sejujurnya aku enggan menjadi utara dan
membiarkanmu menjadi selatan. Lalu kita sama-sama kebingungan, menentukan arah
dan titik untuk bertemu.
Menurutmu
aku sedang menulis apa? Menulis tentang hidupku yang berupa hamparan kertas,
atau menulis tentang kamu yang menjadi gunting dalam tiap gulunganku? Jujur
saja, terkadang aku ingin menjadi bagian dalam salah satu kisah rekaanmu.
Karena kurasa, hidup ini sudah terlanjur rumit. Dan aku bosan menjadi satu
bagian saja dalam hari-harimu. Mungkin hanya siang, tapi tidak menjadi malam.
Atau mungkin hanya malam, dan tidak menjadi siang.